Peran
Golongan Terpelajar
1. Ki
Hajar Dewantara
Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang kemudian lebih dikenal
dengan nama Ki Hajar Dewantara, dilahirkan pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia
berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Setelah menamatkan ELS
(Sekolah Dasar Belanda), ia meneruskan pelajarannya ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Ia kemudian menulis untuk
berbagai surat kabar seperti Sedyotomo, Midden Java, De Express dan Utusan
Hindia.
Ia tergolong penulis tangguh pada masanya;
tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan
semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain menjadi seorang wartawan muda RM
Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, ini terbukti di tahun
1908 dia aktif di Budi Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang di seksi
propaganda.
Perkenalannya dengan Dr. Danudirdja Setyabudhi (F.F.E Douwes
Dekker), dr. Cipto Mangunkusumo dan Abdul Muis melahirkan gagasan baru untuk
mendirikan partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia, yakni
Indische Partij.
Partai yang berdiri pada tahun 1912 ini memiliki keyakinan bahwa nasib masa depan penduduk Indonesia terletak di tangan mereka sendiri, karena itu kolonialisme harus dihapuskan. Namun sayang, status badan hukumnya ditolak oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Partai yang berdiri pada tahun 1912 ini memiliki keyakinan bahwa nasib masa depan penduduk Indonesia terletak di tangan mereka sendiri, karena itu kolonialisme harus dihapuskan. Namun sayang, status badan hukumnya ditolak oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Mereka bertiga kemudian membentuk Komite Bumiputera, sebuah
organisasi tandingan dari komite yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda.
Bersamaan dengan itu, RM Suwardi kemudian membuat sebuah tulisan berjudul Als
Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang menyindir
ketumpulan perasaan Belanda ketika menyuruh rakyat Indonesia untuk ikut
merayakan pembebasan Belanda dari kekuasaan Perancis.
Tulisan yang dimuat dalam koran de Express milik Dr. Douwes
Dekker ini dianggap menghina oleh Pemerintah Belanda sehingga keluar keputusan
hukuman bagi beliau untuk diasingkan ke Pulau Bangka. Usaha pembelaan yang
dilakukan Dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo tidak membawa hasil,
bahkan mereka berdua terkena hukuman pengasingan juga. Karena menganggap
pengasingan di pulau terpencil tidak membawa manfaat banyak, mereka bertiga
meminta kepada Pemerintah Belanda untuk diasingkan ke negeri Belanda. Pada masa
inilah kemudian RM Suwardi banyak mendalami masalah pendidikan dan pengajaran
di Belanda hingga mendapat sertifikasi di bidang ini.
Setelah pulang dari pengasingan, RM Suwardi bersama
rekan-rekan seperjuangan mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut atau
Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922. Perguruan itu bercorak
nasional dan berusaha menanamkan rasa kebangsaan dalam jiwa anak didik.
Pernyataan asas dari Taman Siswa berisi 7 pasal yang memperlihatkan bagaimana
pendidikan itu diberikan, yaitu untuk menyiapkan rasa kebebasan dan tanggung
jawab, agar anak-anak berkembang merdeka dan menjadi serasi, terikat erat
kepada milik budaya sendiri sehingga terhindar dari pengaruh yang tidak baik
dan tekanan dalam hubungan kolonial, seperti rasa rendah diri, ketakutan,
keseganan dan peniruan yang membuta. Selain itu anak-anak dididik menjadi putra
tanah air yang setia dan bersemangat, untuk menanamkan rasa pengabdian kepada
bangsa dan negara. Dalam pendidikan ini nilai rohani lebih tinggi dari nilai
jasmani.
Pada tahun 1930 asas-asas ini dijadikan konsepsi aliran
budaya, terutama berhubungan dengan polemik budaya dengan Pujangga Baru. Selain
mencurahkan dalam dunia pendidikan secara nyata di Tamansiswa, RM Suwardi juga
tetap rajin menulis. Namun tema tulisan-tulisannya beralih dari nuansa politik
ke pendidikan dan kebudayaan. Tulisannya yang berisi konsep-konsep pendidikan
dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan jumlahnya mencapai ratusan buah.
Melalui konsep-konsep itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan
nasional bagi bangsa Indonesia.
Pemerintah Belanda merintangi perjuangannya dengan
mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi beliau dengan
gigih memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu dapat dicabut. Saat genap
berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, Raden Mas Suwardi Suyaningrat
berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara, dan semenjak saat itu beliau tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan
supaya beliau dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun
hatinya. Dalam zaman Pendudukan Jepang, kegiatannya di bidang politik dan
pendidikan tetap dilanjutkan.
Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) di tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di
samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Setelah zaman
kemedekaan, Ki Hajar pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan. Pada tahun 1957, Ki Hajar menerima gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gajah Mada. Beliau meninggal dunia pada 26 April 1959 di Yogyakarta
dan dimakamkan di sana.
Guna menghormati nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hajar
Dewantara dalam bidang pendidikan nasional, Pemerintah Republik Indonesia pada
tahun 1959 menetapkan beliau sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional dan tanggal
kelahirannya kemudian dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Pihak penerus
Perguruan Taman Siswa, sebagai usaha untuk melestarikan warisan pemikiran
beliau, mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya di Yogyakarta. Dalam museum
terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hajar sebagai pendiri Taman Siswa dan
kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis
atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup
Ki Hajar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman
telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Ki Hajar Dewantara memang tidak sendirian berjuang
menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat melalui bidang pendidikan. Namun telah
diakui dunia bahwa kecerdasan, keteladanan dan kepemimpinannya telah
menghantarkan dia sebagai seorang yang berhasil meletakkan dasar pendidikan
nasional Indonesia.
2.
Mohammad Syafei
Moh. Syafei
seorang yang berdarah Minang dilahirkan di Kalimantan Barat tepatnya di daerah
Natan tahun 1895. Anak dari Mara Sutan dengan Indung Khadijah. Ia
menamatkan di Sekolah Rakyat tahun 1908, masuk sekolah Raja (Sekolah Guru)
lulus pada tahun 1914 dan kemudian mengikuti kursus guru gambar pada Bataviashe
Kunstkring di Betawi,disamping itu ia juga mempelajari beberapa macam pekerjaan
tanggan pada tukang-tukan Indonesia di Betawi dan Bogor seperti kepandaian
mengerjakan tulang,tanduk,bamboo dan lain-lain. Karena berpendapat untuk
memejukan Indonesia dengan cepat kaum ibu adalah salah satu tenaga penting bagi
usaatersebut setibanya di Jakarta dari Bukit Tinggi dia lalu mengajar pada
sekolah Krtini di pintu Besi Gunung Sahari,Jakarta denagn Murid pada
permulaannya hanya 36 orang wanita.pada waktu itu anak-anak perempuan belum
dibiasakan untuk meninggalkan rumah karena masih dalam pingitan.Dia menjadi
guru pada sekolah Karftini selama 6 tahun dan meningkat pesat menjadi 800 orang
lebih ketika ditainggalkannya pada tahun1927.Selama mengajar di sekolah kartini
beliau juga diizinkan untuk mengerjakan pekerjaan tangan secara Fakultatif.dan
juga dia bekerja pada surat kabar harian yang diterbitkan oleh bapak Alam Mara
Sutan dan majalah migguan untuk pembaca dewasa dan majalah anak-anak sekolah
rakyat pemerintahan Hindia Belanda dan sekolah –sekolah swasta Disela-sela
kesibukannya menyempatkan diri untuk belajar menggambar Pada tahun 1916 dia menempuh Ujian mengikuti
ujian Negara untuk menjadi guru gambar pada sekolah lanjutan tingkat pertama
dan lulus dengan hasil yang memuaskan.Beliau adalah anak Indonesia yang pertama
yang mendapat kan Izasah tersebut.dan bahkan saat menyerahkan hasil ujian Juru
bicara penguji berkata :”Hasil pekerjaan beliau sangat baik seandainya tuan
adalah orang Belanda tuan akan mendapatkan nilai 9 atau 10 tetapi Karena tuan
bangsa pribumi kami berikan nilai 8 untuk tuan .
Beliau juga aktif dalam gerakan politik semenjak tamat sekolah di Bukit
Tinggi bahkan aktif dalam Budi Utomo ,membantu Wanita Putri Merdeka serta
menjadi anggota partai Insulide pada tahun 1915 yang kemudian berubah menjadi
Indische Partij .dibawah pimpinan Tiga Serangkai
beliau memajukan usul pada Pemerintah Hindia Belanda supaya memudahkan Bahasa
Belanda bagi anak-anak Indonesia.dalam tahun itu juga beliau mengajukan Mosi
memintanpemerintah Hindia Belanda untuk membuat Parlemen bagi Indonesia .Dalam tahun 1917
pada kongres Insulide di Semarang beliau juga mengajukan usul pemerintahan
Hindia Belanda untuk menukar “Punale Sanctie” dengan perjanjian buruh merdeka..
Beliau juga turut aktif dalam gerakan Dr.A.G. Niewenhuis seorang ahli
pendidikan dan bahasa unutk mengajar bahasa pada anaka-anak usi 10 tahun ke
atas dengan demikian bahasa asing dipelajari terlebih dahulu sebelum bahasa
asing menjadi sendi yang kuat untuk mempelajari bahasa asing.hal ini disebabkan karena anak-anak yang berumur 6 tahun
pada sekolah HIS diajarkan bahasa belanda yang membuat anak-anak zaman itu
sangat terbebani.Gerakan itu berhasil dengan dibentuknya sekolah Schakel yang
setraf dengan HIS tapi muridnya adalah tamatan sekolah kelas 3 sekolah
Bumiputra adau rakyat.
Sesudah aktif dalam berbagai bidang
tersebut di Indoesia selama lebih dari 10 tahun .Dia mencoba memberi tinjauan
terhadap berbagai hal tentang keadaan di Indonesia .Dia ingin menambah
tinjauannya tersebut dengan sudut pandang dari luar negeri khususnya dari
Balanda karena tinjauan tersebut nantinya akn membawa manfaat bagi pendidikan
Indonsia juga.
Moh. Syafei pada tanggal 31 Mei 1922 berangkat ke negeri Belanda
menempuh pendidikan atas biaya sendiri. Belajar selama 3 tahun dengan
memperdalam ilmu musik, menggambar, pekerjaan tangan, sandiwara termasuk
memperdalam pendidikan dan keguruan.Di Belanda
di melakuakan tinjauan ke baerbagai bidang seperti Ilmu dan tinjauan masyarakat
sehingga dia tidak mengikuti pelajaran kelas seperti biasa tetapi lebih banyak
mendapatkan pelajaran istimewa atau Privaat-oderwijs.dibidang pendidikan dia
mendapati bahwa sekolah-sekolah swaasta lebih baik dari pada sekolah pemerintah
terutama pada pendidikan dasar dan menengah
Pada tahun 1925 kembali ke Indonesia untuk mengabdikan ilmu
pengetahuannya pada sekolah Kartini Jakarta . dan perguruan lain serta diangkat
menjadi Ajunct Inspektur oleh pemerintah Hindia Belanda tetapi dia menolaknya
karena ingin membuat sekolah dengan system sendiri.Setelah melakukan tinjauan di Indonesia dan diluar negeri
maka lalu bersama Ayahnya Mara Sutan menyusun suatu program berdasarkan
beberapa pertanyaan.”Bagaimana Hendaknya bentuk pendidikan bangsa Indonesia
berdasarkan keadaan yang ada dari berbagai aspek”.sesudah itu muncullah garis
arah yang penting untuk pegangan dalam melakukan pekerjaan pendidikan seperti
berikut:
- Berusaha mencapai Indonesia Mulia Sempurna
- Pendidikan Umum dan Kejuruaan sedapat mungkin disatukan
- Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar,Bahasa Belanda sekedar mengerti,bahasa Inggris aktif
- Kebudayaan nasional sangat dipentingkan
- Bakat dikembangkan
- Pusat pemikiran diutamakan
- Percaya dan berusaha atas tenaga sendiri
- Rasa Kekeluargaan yang mendalam.
- Biasa pada hidup sederhana
- Contoh sebagai media pendidikan
- Sebanyak mungkin pekerjaan diberikan pada pelajar sehingga mereka tidak hanya sebagai objek tetapi juga subjek
- Menjadi manusia susila,bertubuh kuat dan sehat cerdas logis serta ulet dan gigih
- Mempunyai raasa tanggung jawab terhadap keselamatan Nusa bangsa Indoesia serta berkprimanusiaan.
- Menjadi manusia kreatif aktif dan kreatif imitative dan emosiolnal yang sehat
- Usaha-usaha didasarkan atas koperasi
- Bersebdikan pengetahuaan umum yang sederajat dengan MULO atau SMP diberikan pengetahuaan Umum
- Tiga cara pengajaran dipergunakan:auditif,visual,monotorik-taktil
- 50% untuk mengembangkan ilmu biasa dan 50% untuk perkembangan bakat,kejuruaan dan latihan untuk menjadi subjek
- Pelajar dibiasakan dalam dua macam keadaan ,dalam keadaan serba kurang dan kecukupan
Peran Pers
1.
H.O.S. Cokroaminoto
Raden Hadji Oemar Said
Tjokroaminoto atau H.O.S Cokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 6 Agustus 1882
dan meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto
adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno,
salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati
Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo. Sebagai salah satu
pelopor pergerakan nasional, ia mempunyai beberapa murid yang selanjutnya
memberikan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Musso yang
sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis. Namun
ketiga muridnya itu saling berselisih. Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto
bergabung dengan organisasi Sarekat Islam.
Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang tegas namun bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya seorang guru yang disegani karena mengetahui tatakrama dengan budaya yang beragam. Pergerakan SI yang pada awalnya sebagai bentuk protes atas para pedagang asing yang tergabung sebagai Sarekat Dagang Islam yang oleh HOS dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan perdagangan tanpa mengambil daya tawar pada bidang politik. Dan pada akhirnya tahun 1912 SID berubah menjadi Sarekat Islam.
Seiring perjalanannya, SI digiring menjadi partai politik setelah mendapatkan status Badan Hukum pada 10 September 1912 oleh pemerintah yang saat itu dikontrol oleh Gubernur Jenderal Idenburg. SI kemudian berkembang menjadi parpol dengan keanggotaan yang tidak terbatas pada pedagang dan rakyat Jawa-Madura saja. Kesuksesan SI ini menjadikannya salah satu pelopor
partai
Islam yang sukses saat itu.
Perpecahan SI menjadi dua kubu karena masuknya infiltrasi komunisme memaksa HOS Cokroaminoto untuk bertindak lebih hati-hati kala itu. Ia bersama rekan-rekannya yang masih percaya bersatu dalam kubu SI Putih berlawanan dengan Semaun yang berhasil membujuk tokoh-tokoh pemuda saat itu seperti Alimin, Tan Malaka, dan Darsono dalam kubu SI Merah. Namun bagaimanapun, kewibaan HOS Cokroaminoto justru dibutuhkan sebagai penengah di antara kedua pecahan SI tersebut, mengingat ia masih dianggap guru oleh Semaun. Singkat cerita jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin lebar saat muncul pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang Pan-Islamisme (apa yang selalu menjadi aliran HOS dan rekan-rekannya). Hal ini mendorong Muhammadiyah pada Kongres Maret 1921 di Yogyakarta untuk mendesak SI agar segera melepas SI merah dan Semaun karena memang sudah berbeda aliran dengan Sarekat Islam. Akhirnya Semaun dan Darsono dikeluarkan dari SI dan kemudian pada 1929 SI diusung sebagai Partai Sarikat Islam Indonesia hingga menjadi peserta pemilu pertama pada 1950.
HOS Cokroaminoto hingga saat ini akhirnya dikenal sebagai salah satu pahlawan pergenakan nasional yang berbasiskan perdagangan, agama, dan politik nasionalis. Kata-kata mutiaranya seperti “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat” akhirnya menjadi embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang patriotik, dan ia menjadi salah satu tokoh yang berhasil membuktikan besarnya kekuatan politik dan perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada 17 Desember 1934 pada usia 52 tahun.
Perpecahan SI menjadi dua kubu karena masuknya infiltrasi komunisme memaksa HOS Cokroaminoto untuk bertindak lebih hati-hati kala itu. Ia bersama rekan-rekannya yang masih percaya bersatu dalam kubu SI Putih berlawanan dengan Semaun yang berhasil membujuk tokoh-tokoh pemuda saat itu seperti Alimin, Tan Malaka, dan Darsono dalam kubu SI Merah. Namun bagaimanapun, kewibaan HOS Cokroaminoto justru dibutuhkan sebagai penengah di antara kedua pecahan SI tersebut, mengingat ia masih dianggap guru oleh Semaun. Singkat cerita jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin lebar saat muncul pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang Pan-Islamisme (apa yang selalu menjadi aliran HOS dan rekan-rekannya). Hal ini mendorong Muhammadiyah pada Kongres Maret 1921 di Yogyakarta untuk mendesak SI agar segera melepas SI merah dan Semaun karena memang sudah berbeda aliran dengan Sarekat Islam. Akhirnya Semaun dan Darsono dikeluarkan dari SI dan kemudian pada 1929 SI diusung sebagai Partai Sarikat Islam Indonesia hingga menjadi peserta pemilu pertama pada 1950.
HOS Cokroaminoto hingga saat ini akhirnya dikenal sebagai salah satu pahlawan pergenakan nasional yang berbasiskan perdagangan, agama, dan politik nasionalis. Kata-kata mutiaranya seperti “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat” akhirnya menjadi embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang patriotik, dan ia menjadi salah satu tokoh yang berhasil membuktikan besarnya kekuatan politik dan perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada 17 Desember 1934 pada usia 52 tahun.
Abdul Muis (1883—1959) Abdul Muis lahir pada tanggal 3 Juni
1883 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuan
Abdul Muis dalam berbahasa Belanda dianggap melebihi rata-rata orang Belanda
sendiri (Mimbar Indonesia. No.24-25, 19 Juni 1959). Oleh karena itu, begitu
keluar dan Stovia, ia diangkat oleh Mr. Abendanon, Directeur Onderwzjs
(Direktur Pendidikan) pada Departement van Onderwijs en Eredienst yang
kebetulan membawahi Stovia. Akhirnya, pada tahun 1905 Ia keluar dan Departemen
itu setelah dijalaninya selama Iebih kurang dua setengah tahun (1903-- 1905).
Pada tahun 1905 itu juga ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah
Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik, di Bandung.
Pekerjaan itu ditekuninya selama lebih kurang lima tahun, sebelum ia
diperhentikan dengan hormat (karena cekcok dengan controleur) pada tahun 1912.
Ia kemudian bekerja di De Prianger Bode, sebuah surat kabar (harian) Belanda
yang terbit di Bandung, sebagal korektor, Hanya dalam tempo tiga bulan, ia
diangkat menjadi hoofdcorrector(korektor kepala) karena kemampuan berbahasa
Belandanya yang baik (Mimbar Indonesia. No.24-25, 119 Juni 1959). Sebagai pemuda
yang berjiwa patriot, ia mulai tertarik pada dunia politik dan masuklah ia ke
Serikat Islam (SI). Bersama dengan mendiang A.H. Wignyadisastra, Ia dipercaya
untuk memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di
Bandung. Pada tahun itu pula, atas imsiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis
(bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat) membentuk Komite Bumi
Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap maksud Belanda mengadakan perayaan
besar-besaran 100 tahun kemerdekaannya serta untuk mendesak Ratu Belanda agar
memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara
(Mimbar Indonesia, No. 24-25, 19 Juni 959). Pada tahun 1917 ia dipercaya
sebagai utusan SI pergi ke Negeri Belanda untuk mem-propagandakan comite Indie
Weerbaar. Pada tahun 1918, sekembalinya dan Negeri Belanda, Abdul Muis terpaksa
harus pindah kerja ke harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh
Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan
Residen Engelenberg. Pada tahun 1918 itu juga, Abdul Muis menjadi anggota dewan
Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan). Pada tahun 1922, misalnya, ia memimpin anak
buahnya yang tergabung dalain PPPB (Perkumpulan Pegawal Pegadaian Bumiputra)
mengadakan pemogokan di Yogyakarta. Setahun kemudian, ia pun memimpin sebuah
gerakan memprotes aturan landrentestelsel (Undang-undang Pengawasan Tanah) yang
akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat (Biodata “Abdul Muis” yang
tersimpan di Perpustakaan PDS H.B. Jassin).
Peran Wanita
1.
R.A. Kartini
Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879 di kota
Jepara, Jawa Tengah. Ia anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat
pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan
melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit
sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal
tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka.
Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku
ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani
Simbok (pembantunya).
Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.
Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.
Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu. Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya. Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional. Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.
Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya. Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.
Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.
Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.
Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu. Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya. Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional. Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.
Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya. Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.
Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
2.
Dewi Sartika
Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal
di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis
pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh
Pemerintah Indonesia tahun 1966. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang
pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh
Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia di sana. Dewi Sartika
dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda , Nyi Raden Rajapermas dan Raden
Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh
menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904 dia berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.
Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata
pelajaran
juga bertambah.
Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.
Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.
Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Jangan tanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tapi
apa yang telah kamu berikan pada negaramu. Kata bijak tersebut sangat tepat
menjadi panduan semua bangsa yang hendak menobatkan seseorang sebagai penerima
gelar kehormatan ‘pahlawan’ di negaranya.
Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan Raden Dewi Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah. Berbagai tantangan, khususnya di bidang pendanaan operasional sekolah yang didirikannya sering dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi panutan di daerah lainnya.
Sekian informasi dari saya. Semoga berguna bagi teman-teman sekalian.
No comments:
Post a Comment